Soal nomor 121 s.d. 125 didasarkan pada wacana berikut ini.
Dari Revolusi Hijau ke Revolusi Biru
Oleh: D.M. Fadhil Hasan dan Muh. Ramli Ayubar
Restrukturisasi perbankan dan kebijakan moneter merupakan keharusan, tetapi hanya bersifat jangka pendek. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, persoalan- persoalan ekonomi nasional hanya dapat diselesaikan jika sektor riil pulih dan bergerak naik. Tanpa kebijakan tersebut, usaha-usaha pemulihan ekonomi akan sulit tercapai. Persoalan selanjutnya, bagaimana menggerakkan sektor riil warisan krisis ekonomi yang sarat dengan problem struktural dan daya saing rendah. Tidaklah tepat bila pemerintah menggulirkan kebijakan, misalnya, merestrukturisasi sektor riil hanya dengan me-recoveryindustri-industri atau sektor usaha yang menyebabkan krisis, seperti industri-industri hasil kebijakan industri substitusi impor (industry substitution import- ISI) dengan biaya ekonomi tinggi (high cost economy),bersifat asembling dan membutuhkan proteksi serta subsidi.
Entry Point Strukturisasi
“Entry Point” pemerintah dalam pembangunan ekonomi, khususnya menggerakkan sektor riil adalah mencari sektor pertumbuhan yang merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif bangsa. Sektor seperti ini pada dasarnya merupakan kekayaan sumber alam di dalam negeri, seperti pertanian, kelautan dan perikanan (KP), pariwisata, kehutanan dan bahan mineral.
Di antara sektor-sektor tersebut itu, KP merupakan sektor yang belum dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan. Ironisnya, justru sumber daya ini lebih banyak diminati oleh pihak asing, dan negara menderita kerugian sekitar 1,9 milyar dolar AS setiap tahunnya.
Meski berpotensi besar, sektor KP memiliki sejumlah kendala dan hambatan dalam pengembangan dan pengolahannya. Secara mikroteknis, keterbatasan infrastruktur, aliran investasi atau modal, rendahnya inovasi teknologi, dan rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas menjadi faktor penghambat untuk memanfaatkan, sedangkan ekonomi makro, politik, hukum, dan kelembagaan yang tidak kondusif bagi pembangunan KP merupakan hambatan makrostruktural.
Selama ini, kedua masalah ini belum dapat terpecahkan, potensi KP ibarat “raksasa tidur” itu hanya menjadi “harta karun” yang mubazir. Dibutuhkan seorang pendorong besar (big-push) untuk mengatasi masalah yang menjadi hambatan pemanfaatan KP.
Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan sebuah kemauan politik (political will) yang diwujudkan misalnya dalam sebuah gerakan nasional semacam revolusi biru. Gerakan semacam ini, seperti revolusi hijau, terbukti pernah sukses mengantarkan Indonesia sebagai negara swasembada pangan. Namun, revolusi tidak akan dan tidak mungkin mengikuti pola revolusi hijau, mengingat perbedaan-perbedaan yang mendasar.
Revolusi Hijau
Pada dasarnya, konsep revolusi hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas, adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi “mitos” bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari kacamata ekonomi, politik, maupun sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang disebut sebagai Pancausaha Tani, penerapan kebijakan harga, baik untuk sarana produksi dan hasilnya, maupun adanya dukungan kredit dan infrastruktur.
Revolusi Biru
Belajar dari keberhasilan dan kegagalan revolusi hijau dan faktor lingkungan strategis saat ini, gerakan nasional revolusi biru harus dirumuskan dalam blueprint pemerataan dan kelestarian lingkungan untuk pertumbuhan.
Pertama, visi dan gerakan revolusi biru adalah strategi pengembangan aquabisnis yang berbasis masyarakat dan berwawasan lingkungan.
Kedua, pertumbuhan produksi dari revolusi biru dilakukan dengan mengikat kerjasama antara nelayan tradisional yang menjadi target pemberdayaan dengan kalangan pengusaha swasta.
Ketiga, gerakan revolusi biru juga tidak dapat mengandalkan pemerintah untuk menerapkan kebijakan harga seperti halnya dalam gerakan Bimas. Sudah tidak mungkin bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan ini karena sumber pemerintah yang terbatas, orientasi keduanya pun berbeda.
Keempat, menyangkut aspek ketersediaan sumber daya karena pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan.
(Dikutip dari Harian Kompas, 1 April 2002, halaman 32)
Ekonomi nasional hanya dapat diselesaikan jika
sektor riil pulih dan bergerak naik. Dalam hal ini
pemerintah harus mencari sektor pertumbuhan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif bangsa yaitu...