Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim, Petambak Rumput Laut Gracilaria di Bone Budi Daya Ikan Nila
Abu Bakar tampak sumringah. Kepala Desa Latonro, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini lalu menunjukkan tiga jarinya yang dirapatkan sebagai tanda ukuran. "Ikannya sudah seperti ini, pertumbuhannya bagus-bagus," katanya.
Ikan yang dimaksud adalah ikan nila (Oreochromis niloticus) yang mulai dibudidayakan sejak awal Februari 2021 lalu, di sebuah lahan percontohan milik Abu Bakar. Warga desa memang sedang berupaya melakukan budi daya ikan nila di lahan tambak rumput laut Gracilaria sp. yang mereka miliki. Hal ini unik karena ikan nila merupakan spesies ikan tawar yang coba dibudidayakan di lahan tambak berair asin atau payau
Dalam sebuah diskusi di Desa Latonro, Rabu (14/4/2021) lalu, Abu Bakar bercerita bahwa budi daya ikan nila ini sebenarnya merupakan bentuk adaptasi mereka terhadap kondisi iklim yang terjadi. Perubahan iklim di desa tersebut menjadikan curah hujan lebih tinggi dari biasanya. Ketika musim hujan, kondisi air tambak menjadi tawar sehingga tidak cocok untuk perkembangan Gracilaria.
"Kalau musim hujan tiba, otomatis tambak tak bisa difungsikan, rumput laut tidak bisa berkembang dan malah mati semua. Biasanya ini terjadi dari bulan April hingga Agustus," katanya. Kondisi ini, di mana curah hujan lebih tinggi, mulai terjadi sejak 5-6 tahun terakhir. Bukan hanya hujan di Desa Latonro yang jadi masalah, namun juga hujan di daerah Danau Tempe, hulu sungai Walanae. "Kalau curah hujan di Danau Tempe tinggi maka air sungai menjadi lebih tawar sehingga tidak bisa digunakan untuk tambak, air tawar akan lebih mendominasi dibanding air asin," katanya.
Ilham, salah seorang petambak, bercerita bahwa kondisi iklim ini menjadi ironi tersendiri bagi warga. Saat musim kemarau air tawar dibutuhkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Saat krisis air tawar, mereka biasanya mengambil air dari sungai menggunakan pipa-pipa. Biasanya kebutuhan air ini untuk kebutuhan MCK. Namun, di sisi lain kondisi air sungai yang tawar di musim hujan justru tak bagus bagi tambak. Saat musim hujan inilah sering terjadi krisis air asin
"Kalau musim kemarau memang bagus untuk tambak, namun menjadi masalah tersendiri juga untuk pemenuhan air tawar. Dalam kondisi ini kami biasanya mengambil air dan desa sebelah. Tapi kalau harus memilih, kami lebih memilih krisis air tawar ini dibanding air asin. Tidak masalah harus mengambil air dari jauh," ujar Ilham
Menurut Abu Bakar, upaya untuk mengatasi krisis air asin di musim hujan sudah pernah dilakukan. Mereka pernah membuat saluran pipa untuk mengalirkan air asin dari laut ke tambak, namun kurang berhasil karena pipa-pipa mudah rusak terkena serangan tiram. Pendekatan lain dilakukan dengan cara membuat sumur bor di tambak, mengambil air asin dari bawah, namun aimya justru tawar. "Kami juga pernah menaburi berkarung-karung garam ke dalam tambak agar airnya lebih asin, namun cara ini juga kurang begitu berhasil," katanya.
Menurutnya, pendekatan lain yang cukup efektif adalah dengan menggunakan pompa air, namun cara ini lebih mahal. Tak semua petambak mampu membeli pompa air. Solusi berupa pemberian bantuan melalui kelompok tidak bisa dilakukan karena masih lemahnya kelembagaan di desa tersebut.
"Sebenarnya bisa saja Pemdes memben bantuan ke setiap petambak pompa air, namun tak ada jaminan bantuan ini digunakan secara efektif. Tak ada jaminan mesin untuk pompa air ini benar-benar digunakan untuk tambak, bisa jadi malah digunakan untuk perahu. Ini masalah mental petambak kita juga sebenarnya." katanya.
Terkait kondisi ini, Idham Malik, Aquaculture Specialist WWF Indonesia, menyarankan perlunya penguatan kelembagaan petambak dengan membentuk kelompok tani/nelayan yang berakar dari bawah, bukan bentukan pemerintah atau penyuluh. "Kalau dibentuk sendiri oleh masyarakat maka akan ada rasa memiliki dan tanggung jawab untuk membangun kelompok, tidak lagi sekadar menunggu arahan pemerintah ataupun dari penyuluhnya, masyarakat bia lebih terlibat," katanya.
Terkait budi daya ikan nila, Idham menilai upaya tersebut merupakan solusi yang ditawarkan WWF Indonesia agar petambak bisa memperoleh penghasilan tambahan ketika tambak tak digunakan untuk budi daya Gracilaria. "Ikan nila ini cukup potensial untuk dikembangkan, apalagi pasarnya masih terbuka luas. cara budi daya juga sederhana. Setidaknya mereka bisa mengisi kekosongan tambak ketika musim hujan. Namun, untuk mendorong budi daya ikan nila ini sebagai alternatif ekonomi mereka perlu diyakinkan dan dibantu, bisa dengan penyediaan bibit ataupun dengan pendampingan teknis budi daya," katanya.